Tuesday, December 26, 2006

Fendi Pergi Sekolah

Mulai tahun 93 saya pindah ke Surabaya untuk melanjutkan SMA. Pindah ke Surabaya, rasanya senang sekali. Maklumlah, kota besar, jauh kalau dibandingkan dengan Sumbawa, walaupun namanya Sumbawa Besar.
Waktu SMA tidak ada yang istimewa. Malahan yang dulunya waktu SD dan SMP selalu masuk 10 besar di kelas, sekarang malah 10 besar dari belakang. Dulu pikirannya pokoknya naik kelas, yang penting lulus. Karena waktu masuk kuliah kan gak liat nilai, dites lagi. Jadi yang penting lulus aja dulu.

Tahun 96 saya lanjutkan kuliah di UK Petra, Surabaya juga. Jurusan Teknik Industri. Dulu jurusan itu lumayan favorit. Waktu milih jurusan, santai banget. Pokoknya saya gak mau jurusan yang banyak hafalan. Karena saya gak senang menghafal. Saya ingat, saudara saya nanya, "Nti kalo lu lulus SMA, mau kuliah jurusan apa?" Saya bilang, kalau gak Teknik Sipil ya Teknik Industri. Dia cuma bilang, "insiyur Sipil Indonesia kurang laku, mending lu masuk Teknik Industri saja." Akhirnya, ya sudah. Saya bilang, kalau gitu ya Teknik Industri saja.

Lulusnya tahun 2001, ada bonus 1 semester, alias agak telat. Tapi gak apa-apa, yang penting Ipnya melebihi target, walaupun cuma lebih 0,5.

Kalau saya perhatikan, ini masalah yang cukup penting. Banyak anak-anak yang gak tau mau kuliah jurusan apa? Nti kalau lulus mau ngapain? Mereka nggak punya gambaran masa depan seperti apa yang mereka mau. Sama seperti saya dulu.

Satu catatan selama masa sekolah, baik itu saat masih di Sumbawa atau di Surabaya, yaitu saya tidak pernah kuatir akan apapun. Terutama dalam hal duit. Saya tidak pernah kuatir kehabisan duit. Saya selalu bilang, nanti pasti ada aja deh. Dan memang bener, kalau sudah akhir bulan, uang bulanan sudah hampir habis, biasanya kakak perempuan saya nanya, “masih ada duit?” Jadi orang kan harus jujur ya, saya jawab aja, “masih, dikit”. Kan sungkan kalau bilang habis. Eh, dasar emang rejeki, dikasi duit. Lumayan, bisa bernafas lagi.

Oya, walaupun saya kuliahnya Teknik Industri, saya tidak pernah tertarik untuk kerja di pabrik. Saya merasa lingkungannya tidak sesuai untuk saya. Saya orangnya ndak bisa diam di tempat si. Senangnya keliling. Makanya, sejak belum lulus kuliah, saya sudah tau, nti kalau lulus saya pengen jadi sales aja. Enak, keliling terus, bisa ketemu banyak orang, bisa kenal dengan banyak orang. Lagian kalau jualannya banyak, dapatnya juga banyak. Makanya, pas tinggal garap skripsi, saya sudah mulai ngelamar kerja.

Dulu rasanya cari kerja itu gak susah. Apa karena saya tidak pernah kuatir itu ya? Jadi dalam hati selalu santai. Karena waktu itu, uang bukan motivasi utama saya. Saya hanya pengen cari pengalaman. Saya tidak terlalu bernafsu memikirkan duit. Mungkin karena itu, makanya waktu itu rejekinya lancar. Saya pernah baca di buku, disitu ditulis, bahwa bila kita merasa putus asa, perasaan itu secara tidak sadar akan tampak di wajah kita. Nah, orang yang melihat wajah putus asa kita, akan ragu dengan kita. Contohnya seperti ini, bila Anda interview kerja, terus dalam hati Anda berpikir, “wah, jangan sampai gak diterima ni”, dan dalam hati Anda sangat bernafsu sekali untuk mendapatkan pekerjaan itu, maka hampir bisa dipastikan Anda tidak akan mendapatkannya. Apakah Anda pernah mengalami hal seperti itu?

Pas masih kuliah, saya juga sempat bisnis sambilan. Pertama, jualan accessories Hp. Kebetulan waktu itu Hp lagi booming-boomingnya. Pas awal-awalnya. Saya join dengan teman saya. Kami buat kartu nama, sempat juga memasang iklan di Koran, menawarkan ke teman-teman, siapa tau ada yang butuh baterai, sarung Hp, dll. Setiap hari kami ke World Trade Center (WTC), kebetulan disana pusat Hp. Kami kesana untuk ambil barang pesanan. Gak lama jalanin usaha ini, saingan mulai muncul. Saingan sesama mahasiswa, banting-bantingan harga. Hitung-hitung, gak cukup untuk ongkos jalan, akhirnya buyar.
Tapi gak papa, pengalaman.

Yang kedua, saya juga pernah jualan alat tulis. Disket, kertas gambar, biasanya untuk anak arsitek. Kebetulan kakak ipar saya punya toko stationary (alat-alat tulis). Jadi saya ngambil barangnya ke dia. Saya titipkan di tempat foto kopi di dekat kampus, ada juga yang saya jual langsung ke teman-teman.

Yang ketiga, saya juga pernah jualan shampoo dan sabun cuci piring. Kebetulan saudara sepupu saya yang buat sendiri, home industry kecil-kecilan. Dari kantin kampus saya membeli botol aqua kosong, ini untuk diisi shampoo dan sabun. Setelah diisi, saya bawa ke kampus lagi, titip di kantin untuk dijual.

Yang keempat, saya pernah jualan krupuk. Waktu itu ada stok krupuk di rumah dan pas mama saya di Surabaya. Akhirnya, beliau yang goreng, saya bawa ke kampus. Titip di yang jual soto di kantin. Pokoknya dulu saya akrab dengan orang-orang yang jaga kantin. Hubungan bisnis.