Wednesday, February 14, 2007

Linda Kerja di Taiwan

Hari pertama masuk sekolah, ada satu orang Indonesia, namanya Lili, dia nawari kerjaan. Wah, hoki ni. Baru masuk sekolah, kenal dengan teman baru, udah ditawari kerjaan. Langsung disuruh mulai kerja hari itu juga. Kerjanya di restaurant 火鍋 (Huo Guo), kalau di Indonesia biasa disebut Shabu-Shabu. Musim dingin, orang Taiwan paling suka makan Huo Guo.

Kerjanya bagian dapur. Senang campur kuatir. Mau diambil, kuatir pelajaran keteteran, karena pelajaran belum mulai, belum ada gambaran kira-kira sulit gak? Hari itu kita belum mutusin, cuma pergi lihat-lihat tempat kerjanya saja. Beberapa hari kemudian baru diputusin. Dia butuhnya dua orang, kebetulan waktu itu ada satu teman cewek, baru kenal juga, namanya Susi, orang Indonesia juga, dari Kalimantan. Jadi saya putusin kerjaan itu buat Linda dan Susi aja dulu. Saya belakangan.



Tempat kerjanya lumayan jauh, brarti harus ada kendaraan untuk transport ni. Kalau naik bis, repot. Mau beli sepeda motor, sayang duit. Akhirnya, ndak ada pilihan lain, sepeda. Trus, mulai kami nyari-nyari sepeda.

Sebelum berangkat ke Taiwan, saya pernah dengar, orang Taiwan biasanya suka membuang barang-barang yang sudah nggak dibutuhkan lagi. Nggak jarang barangnya masih bagus-bagus. Mungkin karena rumahnya nggak cukup, gak ada tukang rombeng, akhirnya dibuang.

Waktu nyari sepeda juga gitu, kita ngarepin ada sepeda yang dibuang. Tapi waktu itu kita masih gak tau mau nyari kemana. Sasaran pertama, kita cari toko sepeda, tujuannya mau nyari sepeda bekas. Hampir semua toko sepeda yang bisa dijangkau dengan jalan kaki, kita datangi. Ada yang harganya kemahalan. Ada yang tidak jual sepeda bekas. Ada juga, yang bukan toko sepeda, tapi punya sepeda yang sudah tidak dipakai, orangnya buka harga NT 500, ditawar, marah-marah.

Hari itu kita jalan kaki kira-kira 10 km PP. Tidak ketemu sepeda. Sudah hampir putus asa, sampai kakinya Linda lecet. Pas saya mampir di pom bensin untuk buang air, disana ada sepeda diparkir. Kelihatannya tidak ada yang punya. Tapi kita gengsi dong, mau langsung minta, jadi pura-pura nanya, di dekat sini ada toko sepeda bekas gak ya?
Orangnya nunjukin satu toko, yang sudah kita datangi juga. Trus, ngobrol-ngobrol sebentar, akhirnya saya nanya, sepeda ini punya siapa? Dia bilang, “gak ada, ambil aja. Ini sudah lama disini, gak ada yang punya.” Wah, rejeki nomplok ni. Akhirnya dapat juga sepeda gratisan yang diimpi-impikan. Langsung saya periksa, pompa bannya, kebetulan disitu ada alat pompa gratis. Setelah dicek, ternyata geer nya rusak. Akhirnya kita bawa ke bengkel untuk diperbaiki. Ditambahi boncengan belakang karena untuk dipakai berdua, Linda dan Susi. Waktu itu habisnya NT 500.
Itu sepeda pertama yang kami dapat, senang sekali rasanya.

Besoknya di sekolah, kita cerita ke teman. Kebetulan dia juga butuh sepeda, orang Thailand, cewek, namanya Weaw. Itu nama panggilannya, kalau nama Thailandnya, nyebutnya sulit banget. Dulu pernah disebutin sekali tapi gak nayntol sama sekali.

Akhirnya kita mulai hunting di parkiran sekolah. Ternyata disitu banyak sekali sepeda yang ditinggal begitu saja oleh pemiliknya. Gimana taunya kalau sepeda itu sudah gak kepakai? Gampang, lihat aja bannya. Kalau bannya kempes, berarti sepeda itu sudah lama disitu. Apalagi kalau sudah berdebu tebal. Atau mungkin ada kerusakan lain, pasti sudah lama banget gak dipakai. Hari itu kita langsung dapat 2 sepeda. Dua-duanya perfect, gak perlu diperbaiki. Jadi total sudah ada 3 sepeda ni, satunya buat Weaw.



Mulai, otak bisnis jalan. Gimana kalau kita jual sepeda aja? Lumayan, kerja tanpa modal. Tinggal perbaiki sedikit, jual. Gayungpun bersambut, ada temannya si Weaw itu butuh sepeda. Kebetulan orangnya berduit, orang Thailand juga, namanya Mimi. Akhirnya saya suruh dia milih. Dia milih sepeda yang pertama kita dapat, yang diperbaiki habis NT 500. Karena memang modelnya lebih keren, ada shock breakernya. Ya, gak papa, jual NT 750. Lumayan, untung NT 250.



Itu Mimi, Linda dan Erdem, orang Rusia. Fotonya di depan kampus, bareng sepeda-sepeda yang kita dapat. Coba perhatikan, kiri dan kanan jalan banyak toko, ramai kan? Ini bukan malam Minggu, kalau malam Minggu, lebih ramai lagi. Namanya juga pasar malam.

Pertama kali kerja, Linda dan Susi perginya boncengan naik sepeda. Lama-lama, capek juga. Akhirnya, cari sepeda lagi. Kebetulan saya juga butuh sepeda, buat siap-siap kalau nanti dapat kerjaan. Kembali lagi, hunting di parkiran sekolah. Kali ini dapat 2, saya satu, Susi satu. Jadi total sudah 5 sepeda. Yang kali ini juga gak perlu diperbaiki, lumayan.

Setiap pagi jam 8 kita pergi sekolah, siang jam 12 pulang. Makan siang, trus istirahat bentar. Jam 15.30 Linda dan Susi pergi kerja. Waktu itu saya belum ada kerjaan, jadi mereka pergi kerja, saya ke kampus, main internet, online. Saya mencari dan memikirkan bagaimana cara menjalankan Tianshi dengan cara online. Saya juga melakukan prospecting di internet, mencari kenalan dan teman-teman baru.



Waktunya makan malam, saya pergi ke depot, makan nasi campur sendirian. Kalau di Taiwan namanya 便當 (Bian Dang). Awal-awal masih belum ada teman. Kemana-mana sendirian. Abis makan, kalau pas ada PR, ya pulang kerjakan PR. Kalau besoknya ada ulangan, ya belajar.

Kira-kira jam 10 malam Linda dan Susi pulang kerja. Besok paginya, gitu lagi.
Setiap hari seperti itu. Malahan kalau weekend, jam kerja mereka lebih panjang. Mulai pagi jam 10 sampai jam 2 siang. Jam 4 sore lanjut lagi sampai jam 10 malam. Kadang-kadang lembur, sampai jam 2 pagi baru pulang. Bayangin, subuh-subuh, cewek naik sepeda sendirian. Linda dan Susi lemburnya gantian. Kalau lembur, mereka biasanya sampai rumah jam 2.30 pagi, dan jam 7 pagi harus bangun untuk siap-siap ke sekolah.



Kurang lebih 4 bulan kerja disana, Linda dapat tawaran untuk jadi baby sitter. Ditawari teman sekelas, orang Perancis, namanya Ma Li. Ma Li tinggal di Taichung karena kebetulan suaminya ditugasin di kantor cabang Taichung. Perusahaan alat-alat olah raga dari Perancis, Decatlhon.



Kebetulan Managernya butuh baby sitter yang bisa bahasa Inggris. Bayaran per jamnya jauh lebih tinggi daripada kerja di restaurant Huo Guo. Anaknya tiga, Linda jaga yang kecil, kembar.



Where is Mac? Which one is Ector?



Virginie, Mama si kembar puas dengan hasil kerja Linda. Linda dipromosiin ke teman-temannya. Jadinya banyak yang mau makai Linda jadi baby sitter. Ini semua karena satu, “berikan lebih dari apa yang diharapkan.” Prinsip ini juga bisa dipakai bila Anda kerja di perusahaan. Linda bukan hanya baby sitting, kalau pas anaknya lagi tidur, nggak ada kerjaan, Linda juga bantuin mereka cuci piring, nyetrika baju, bersih-bersih rumah, dll. Padahal itu semua nggak diminta.

Pas waktu Linda dan Virginie bawa anak-anak ke dokter, ada yang ngelihat, langsung marani dan minta no telp. Dia bilang, nanti kalau Virginie balik ke Perancis, dia mau minta Linda jagain anaknya. Luar biasa bukan? Ternyata, saya nggak salah milih calon istri. Nanti kalau sudah berkeluarga, saya nggak perlu kuatir lagi dengan urusan rumah tangga, terutama jaga anak.

Linda jadi baby sitter mereka kira-kira selama 4-5 bulan, mulai mereka umur 9 bulan sampai dengan umur 1 tahun lebih. Karena orang tuanya harus pindah tugas, kembali ke Perancis. Ini foto hari terakhir mereka di Taichung.



Mereka pulang ke Perancis, kami juga pulang liburan ke Indonesia. Linda di Surabaya selama 2 minggu. Saya di Indonesia 1 bulan, keliling dari Surabaya, Sumbawa, Bandung dan Jakarta karena harus ngurusi bisnis saya. Kebetulan tanggal 16 September 2006 ada annual conference di Jakarta. Saya ingat, tanggal 19 September, saya kembali ke Taiwan.

Balik dari Indonesia, udah ada 2 tawaran kerjaan yang antri buat Linda. Jadi baby sitter juga. Linda bingung, mau milih yang mana? Keputusannya, hari kerjanya dibagi.

Friday, February 02, 2007

Taiwan

Ada 3 kota besar di Taiwan. Yang pertama Taipei. Taipei merupakan ibu kota Taiwan, letaknya di utara Taiwan. Ini kota yang paling ramai, namanya juga ibu kota. Yang kedua Taichung, letaknya di tengah-tengah. Waktu di Taiwan, saya tinggal disini. Yang ketiga Kaoshiung, letaknya di selatan Taiwan, ini kota terbesar kedua setelah Taipei.

Di Taiwan ada 9 suku asli. Salah satu jenis kostumnya seperti ini.



Yang paling terkenal dari Taipei adalah Taipei 101, gedung tertinggi di dunia saat ini.



Mulai dari lantai 1 sampai dengan lantai 5, mal. Malnya lumayan besar, barang-barang yang dijual untuk kelas menengah keatas.



Untuk melihat keindahan kota Taipei, pengunjung boleh naik sampai ke lantai 89 dengan membayar tiket NT 350. Katanya si bisa sampai lantai 101, tapi harus bayar lagi NT 100. Taipei 101 dilengkapi dengan lift tercepat di dunia. Untuk naik dari lantai 5 ke lantai 89 hanya membutuhkan waktu kira-kira 2 menit.



Saya selalu membayangkan suatu saat saya ingin memiliki sebuah internet café di gedung pencakar langit seperti 101, dikelilingi dinding kaca sehingga bisa melihat keindahan kota.



Ada banyak hal yang merupakan ciri khas dari Taiwan. Yang pertama adalah tahu busuk atau 臭豆腐(Chou Dou Fu). Modelnya ya tahu biasa, rasanya juga enak. Tapi baunya minta ampun. Dari jarak beberapa meter udah ketahuan kalau ada yang jual chou dou fu.
Yang kedua 夜市 (Ye Shi) atau pasar malam. Kalau di Indonesia, orang-orang jalan-jalan ke mal. Tapi di Taiwan, jarang yang jalan-jalan ke mal. Kebanyakan orang-orang jalan-jalan di ye shi. Tiap weekend, ye shi selalu ramai. Banyak jual baju dan makanan. Ini surga untuk yang senang shoping dan makan. Di setiap kota ada ye shi.



Selain tahu busuk dan pasar malam, ada satu lagi yang di seluruh dunia cuma di Taiwan yang ada, negara lain tidak ada, Bin Lang Xiao Jie.



Pemandangan seperti ini banyak di Taiwan. Pertama kali sampai ke Taiwan saya juga bingung. Ini majang apa? Masak jual diri? Ternyata, mereka jual Bin Lang dan rokok. Yang jual pakaiannya sexi banget, malahan ada yang hanya pakai bikini.
Mungkin Anda pernah tahu kalau di Indonesia, biasanya di desa-desa, banyak nenek-nenek yang ngunyah daun sirih. Mulutnya bisa sampai merah-merah. Sama, di Taiwan juga seperti itu. Bedanya, yang makan Bin Lang itu banyak anak mudanya, terutama laki-laki dan biasanya dari kalangan bawah. Tapi ada juga yang naik BMW sambil ngunyah Bin Lang dan tiba-tiba ngeludah ke jalan. Jadi kalau Anda jalan-jalan ke Taiwan dan ngelihat banyak bercak merah di jalanan, jangan kaget, itu bukan darah.

Beberapa hari pertama, saya dan Linda tinggal di rumah kakak sepupu saya. Kakak sepupu saya yang membantu saya mengurus sekolah dan mencarikan tempat tinggal. Setelah selesai semua, kami mulai tinggal di tempat sewaan.



Kami belajar bahasa mandarin di Feng Chia University, Taichung City. Kami masuk dalam language center division. Ini gedung yang paling dibanggakan. Di brosur pasti ada fotonya gedung ini, namanya 人言大樓 (Ren Yuan Da Lou).



Kami sempat nganggur beberapa hari karena waktu itu sekolah baru dimulai tanggal 5 Desember 2005. Untuk ngisi waktu, kami biasanya mampir ke kampus untuk buka-buka internet. Saya terus nyari-nyari cara untuk bisa menjalankan bisnis saya dengan cara online. Saya betah seharian di depan internet karena saya memiliki impian. Biasanya Linda yang gak betah nungguin saya online. Kalau sudah begitu, kami biasanya jalan-jalan ke mal sambil lihat-lihat keadaan kota Taichung. Kemana-mana jalan kaki. Bukan olah raga, tapi karena mau ngirit. Sebelum dapat part time job, kami tidak berani makai duit sembarangan. Takut kehabisan, maklum jauh dari orang tua dan keluarga. Mau apa-apa, mikir duit.



Pertama sampai di Taiwan, kami sama sekali tidak bisa baca tulisan mandarin. Dengar, bisa sedikit-sedikit karena kebetulan dari kecil kami sering mendengar orang tua kami bicara mandarin. Tapi untuk bicara, kacau. Kami baru tau, kalau bahasa mandarin itu ada nadanya. Nadanya lain, artinya juga lain. Misalnya seperti kata “JUAL” dan “BELI”, bacanya sama, tapi nadanya beda. Jadi seringnya kalau kami bicara, orang lain gak ngerti. Mereka juga tidak bisa bahasa Inggris, repot dah.

Kalau mau makan juga susah. Tulisan di menunya semua Mandarin. Tanya orangnya, dijelasin, gak ngerti. Sampai dibukain panci, suruh lihat sendiri. Jadi biasanya, biar gampang, lihat kolom di sebelah kanan, pilih yang nominalnya paling kecil, alias harganya paling murah. Dikurskan dulu ke Rupiah. NTD 1 = Rp 300, biar gampang ngitungnya. Pertama kali kaget, nasi campur di depot yang biasa-biasa, satu porsi Rp 15 ribu. Kalau di Surabaya bisa makan tiga kali ni, di warung depan kantor saya dulu.

Tanggal 5 Desember, hari pertama masuk sekolah. Pengenalan kampus dan murid baru. Ketemu dengan teman-teman baru dari berbagai negara. Jepang, Korea, Thailand, Perancis, Afrika, Australia, Amerika, dan lain-lain. Senang rasanya bisa dapat teman dari berbagai negara.